oleh

Peladang Liar Dari Orang-Orang Liar

AKSI perladangan liar diwilayah Kabupaten Dompu makin marak, mereka tidak hanya menggarap lahan-lahan dalam kawasan yang sudah dirusak, lebih dari itu mereka memperluas areal perladanganya keareal baru yang masih orisinil alias hutan rimba.

Tengok saja kawasan hutan sekitar pembangunan dam raksasa Tanjung dan Mila, sangat miris dan memprihatinkan, sepanjang mata memandang pohon-pohon bertumbangan akibat dibabat oknum warga yang tidak bertanggungjawab.

Bupati Dompu Drs H Bambang M Yasin sudah mengingatkan agar petani tidak memperluas rambahanya. Tetapi peringatan itu sama sekali tak bermakna karena justru dibalas dengan tebangan-tebangan kayu didalam hutan rimba.

Mirisnya lagi sikap oknum petani yang tidak bertanggungjawab ini tak ada yang menghalanginya terutama oleh institusi terkait. Kalau ini dibiarkan terus maka yakin saja hutan yang tersedia didaerah akan musnah tak berbekas.

Cara berladang tempo dulu dan masa kini sangatlah berbeda terutama cara menebangnya. Dulu dilakukan secara manual dengan mengandalkan parang dan kampak, akibatnya tingkat kerusakan hutan melambat.

Sebab untuk membabat hutan seluas 1 hektar membutuhkan waktu berhari-hari, tetapi kini hutan satu hektar bisa dibabat dalam sekejap dengan menggunakan mesin Senso mini. Alat inipun bisa didapatkan dengan harga murah dikisaran Rp 1-1,5 juta, karena itu petani gampang memilikinya.

Dari mana para peladang berdatanga?, ternyata mereka adalah para pemain lama yang terbiasa dihutan. Ada yang memang murni untuk berladang tetapi ada juga disebut penguasa rimba yang akan memperjual belikan lahan tutupan kepada masyarakat lainya.

Sebahagian para peladang adalah orang-orang liar yang tidak dikenal atau orang-orang yang tidak berpenduduk asli setempat. Mereka didatangkan dari kawasan lain atau Kabupaten lain setelah menyerahkan upeti kepada penguasa rimba setempat.

Kondisi ini harus menjadi atensi utama bagi pemerintah daerah, pemilik kawasan (Kehutanan) serta aparat keamanan. Kasihan hutan kita, sekarang sudah diambang kehancuran, percuma membangun dam, bendungan triliunan kalau hutan-hutan yang menjadi penyangga sudah tidak ada lagi.

 

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]