oleh

Hasrat Menjadi Pemimpin Tanpa Politik Uang

Oleh : Suherman

Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun bangsa dan bernegara. Konstitusi tersebut diperjelas oleh pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Konstitusi dan undang-undang telah memberikan kesempatan hak yang sama secara luas kepada setiap warga negara terutama untuk dipilih untuk jabatan di eksekutif dan legislative melalui pemilu dan pilkada asal memenuhi persayaratan formal administrasi sebagaimana aturan perundang-undangan.

Namun, selain memenuhi syarat formal administrasi, warga negara yang berkeinginan menjadi calon pemimpin juga harus didukung oleh kemampuan, pemahaman, memiliki konsep visi dan misi serta program sebagai pemimpin. Kalau ini tidak dimiliki, maka menjadi pemimpin adalah hanya untuk memenuhi hasrat semata.

Ketika memenuhi hasrat semata, maka kalau meminjam terminologinya D’ souza bahwa hanya untuk ingin menjadi yang dilayani (rasa hormat, gengsi, kekayaan, dsb), ingin mendapatkan kendali (menjadi yang berwenang) dan ingin mendapatkan kekuasaan.
Fenomena

Meskipun pemilu serentak tahun 2019 dimana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilakukkan secara bersamaan dengan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD masih tersisa sekitar dua tahun lagi yang tahapan persiapannya dimulai sejak tahun ini (2017) namun fenomenanya terutam Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD sudah mulai hangat diperbincangkan, didiskusikan di taman kota, di social media dan sarana publik lainnya. Yang menarik adalah ketika banyak terdengar komentar, pernyataan bahwa mengahadapi pemilu atau untuk mengikuti pemilu baik sebagai peserta pemilu (partai poltik) maupun sebagai calon harus menyediakan uang banyak salah satunya untuk membeli suara (politik uang).

Menurut penulis, apapun bentuk dan tujuannya terlebih hanya untuk memenuhi hasrat menjadi pemimpin. Politik uang dari perspektif etika dan hukum tidak dibenarkan. Pertama, perbuatan menyogok dan membeli suara rakyat adalah perbuatan yang tidak bermartabat, merendahkan derajat kemanusiaan baik dari pemberi (calon) maupun penerima (pemilih). Argumentasinya sederhana, bagaimana mungkin nurani kemanusiaan, hak pilih/memilih yang diberikan Tuhan dan diatur dalam konstitusi dapat dibayar oleh sejumlah materi/uang. Secara rasionalitas, rasanya sulit mengatakan bahwa kita memiliki nilai kemanusiaan apabila nilai kita sudah diukur/ dibayar dengan materi dalam menentukan pilihan. Kedua, dari perspektif hukum bahwa perbuatan plitik uang adalah perbuatan melawan hukum dan masuk kedalam ranah tindak pidana Pemilu dan kepada si pemberi (calon) maupun kepada si penerima (pemilih) dapat dikenakan hukuman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meminimalisir praktik politik uang tidaklah sulit asal ada komitmen terutama dari peserta pemilu dan calonnya. Terjadinyan politik uang karena disatu sisi ada peserta pemilu dan calon sebagai pemberi dan disisi lain ada pemilih sebagai penerima. Mata rantai pemberi dan penerima ini harus diputus mulai dari pemberinya sebab dari aspek tekhnis dan kuantitas jumlahnya, pemberi ini relatif sedikit dibanding pemilih sebagai pihak penerima.  kalau tidak ada yang memberi pasti tidak akan ada yang menerima. Maka, pemilih akan kembali memilih dengan ideal menggunakan instrument nurani.

Menjadi pemimpin itu bukan sekedar hasrat namun merupakan amanah yang cara meraih, menjalakannya akan dipertanggungjawabkan baik didunia terlebih di akhirat. Maka, raihlah dan jalankan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya.
Penulis adalah anggota KPU Kabupaten Dompu

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]