Hakim Terima Suap Ronald Tanur Minta Jadi JC Enak Sekali?

Apa yang anda pikirkan ketika seorang hakim yang menangani perkara di Pengadilan menerima suap, gratifikasi atau semacamnya, tentu itu adalah ulah biadab yang tentu saja tidak bisa dimaafkan. Sebab dipalu mereka telah dititipkan nasib seseorang sesuai dengan tingkat keselahanya, tak heran seorang hakim bisa disebut tuhan yang menjadi pengadil di dunia. Anehnya dua orang mantan hakim PN Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas atas Ronald Tannur yang terang-terangan mengaku telah menerima suap meminta supaya dijadikan saksi pelaku Justice Colaborator (JC) dengan alasan ikut bekerjasama membantu membongkar kejahatan sehingga menjadi terang benderang.

PENULIS : ABDUL MUIS

Permintaan dua mantan hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur, Erintuah dan Mangapul itu tertuang dalam pledoi yang diajukan dimuka sidang PN Tipikor Surabaya 29 April 2025. ”Kami mohon majelis hakim yang mulia dapat mempertimbangkan kami sebagai justice colaborator karena telah berterus terang menerima dan bekerjasama membongkar kasus ini,” pinta mereka.

Sebagai mantan hakim yang pernah menangani ratusan bahkan ribuan perkara permohonan itu tentu tak asing lagi ditelinga mereka. Permohonan maaf dan permohonan untuk diringankan vonis bagi pelaku yang didakwa selalu saja diajukan agar dalam menjatuhkan vonis tetap memperhatikan fakta-fakta persidangan serta memperhatikan sisi kemanusian dan keadilan.

Tetapi apakah mereka mendengar permohonan demi permohonan para terdakwa? jawabanya ada yang ya dan ada yang tidak tergantung sungguh dari analisis dan kesimpulan majelis hakim. Tiga kasus Tipikor yang menjerat tiga pejabat di Pemerintahan Kabupaten Dompu yang didakwa JPU Kejari Dompu dan diputus majelis hakim Tipikor Mataram bisa menjadi barometer penegakan hukum yang dirasa belum berkeadilan bagi terdakwa dan keluarganya.

Kasus mantan Kadis Disperindag Drs Hj Sri Suzana yang hasil pemeriksaan Inspektorat merugikan negara Rp 160 juta, sudah dikembalikan kenegara kemudian berkembang menjadi Rp 398 juta hasil pemeriksaan Inspektorat Provinsi NTB atas permintaan penyidik Kejaksaan Negeri Dompu, divonis 1 tahun oleh pengadilan tingkat pertama dan menjadi 2 tahun pada tingkat banding dan kasasi.

Kasus kedua adalah pembangunan Rumah Sakit Pratama Manggelewa Dompu yang hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) merugikan negara sebesar Rp 560 juta dan berkembang menjadi Rp 1,3 miliyar hasil audit ulang BPKP NTB. Terdakwa Maman SKM yang bertindak sebagai KPA dan PPK diganjar hukuman selama 8 tahun penjara dan menjadi 7 tahun ditingkat banding dan kini masih mengajukan kasasi ditingkat Mahkamah Agung.

Dan kasus ketiga adalah pembangunan Puskesmas Dompu Kota dan menjerat mantan Kabid SDK Dikes Dompu Abubakar Husain. Hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI menemukan kerugian keuangan negara sebesar Rp 47 juta dan sudah dikembalikan sesuai rekomendasi BPK RI tahun 2022. Tetapi penyidik Kejaksaan Negeri Dompu meminta perhitungan ulang Inspektorat Provinsi NTB dan berkembang menjadi kerugian negara sebesar Rp 944 juta. Kapasitas Abubakar dalam proyek pembangunan Puskesmas Dompu Kota tersebut sebagai KPA dan PPK. Abubakar divonis majelis hakim 4 tahun penjara tak berbeda dengan tuntutan JPU yang juga 4 tahun karena melanggar pasal 3 UU Tipikor yang intinya karena jabatan dan kewenangan yang dimilikinya.

Dari tiga kasus yang menjerat mantan pejabat tersebut tak satupun dari mereka yang terbukti menerima aliran dana satu sen pun dari pelaksana proyek baik sebagai uang sogok maupun gratifikasi. Mereka hanya dituduh lalai dan tidak mampu mengendelikan kontrak sehingga menimbulkan kerugian negara. Walaupun kerugian negara yang disebut itu menjadi perdebatan sengit antara JPU dengan para penasehat hukumnya dimuka persidangan.

Majelis hakim yang menyidangkan perkara tampak lebih sependapat dengan ahli yang menghitung kerugian negara, walau ahli tidak dihadirkan dimuka persidangan dan hanya dibaca saja berita acara pemeriksaan (BAP) oleh JPU.

Kasus Abubakar Husain misalnya dalam fakta persidangan terungkap dalam mendukung suksesnya pembangunan Puskesmas Dompu kota berbagai organ pendukung dibentuk untuk mengawal dan mengawasi proyek dimaksud. Seperti Konsultan perencana, konsultan pengawas, pejabat tehnis proyek (PTP) dari PUPR dan pejabat penerima hasil pekerjaan (PPHP).

Dari hasil pemeriksaan dimuka sidang saksi-saksi itu mengakui tak ada satupun pekerjaan yang tidak dilakukan karena diawasi secara ketat. Malah mereka merasa heran ada temuan kekurangan pekerjaan yang begitu banyak sebesar Rp 944 juta dari pagu anggaran sebesar Rp 7,9 miliyar rupiah. Ratusan foto pekerjaan mulai dari tahap persiapan hingga akhir pekerjaan mereka juga dokumentasikan untuk membuktikan bahwa seluruh item pekerjaan sudah dilakukan.

Tetapi putusan majelis hakim yang menyidangkan perkara lebih sepakat dengan pendapat ahli bangunan dari Universitas Mataram Atas Pracoyo yang bernilai Rp 944 juta dan dalam putusanya langsung mengacu kepada tabel dan standar pemidanaan sesuai dengan nilai kerugian negara.

Dalam pledoi para pejabat yang rata-rata sudah memasuki usia pensiun bahkan Abubakar sudah pensium memohon pada majelis hakim agar mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dapat memberikan hukuman seadil-adil dan seringan-ringanya. Mengingat hasil dari pembangunan seperti RS Pratama manggelewa dan Puskesmas Dompu Kota kini menjadi andalan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Kabupaten Dompu.

Bahkan atas hasil pembangunan dikedua fasilitas publik itu kini berubah status yang semula berada di tipe C kini meningkat menjadi tipe Paripurna dan meraih predikat bintang 5.

Begitulah sebahagian dari potret penegakan hukum dinegeri ini, meski tak terbukti menerima aliran dana, menerima suap atau gratifikasi sepersenpun tapi karena jabatan dan kewenangan yang tak bisa dihindari mereka harus mendapat hukuman yang cukup berat atas perbuatan yang sama sekali tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Pertanyaanya layakkah seorang hakim yang nyata-nyata menerima suap dan gratifikasi sampai Rp 6,4 miliyar meminta untuk dijadikan sebagai saksi justice colabolator dan diringankan?. Jawabanya tentu bagaimana ketika menjadi hakim lalu menjatuhkan vonis berat walau seseorang tak menerima aliran dana sedikitpun. (*)

 

 

 

 

 

Exit mobile version