DOMPUBICARA-Hati-Hati membangun lapak diatas trotoar untuk berjualan, sebab kalau aparat penegak hukum konsisten dengan bunyi UU Tindak Pidana Korupsi terutama dipasal 2 dan pasal 3 UU nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 Tahun 2001, frasa setiap orang dengan maksud memperkaya diri dan orang lain atau menguntungkan diri atau orang lain maka setiap orang yang menggunakan trotoar dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas perbuatanya.
Pendapat tersebut disampaikan oleh ahli hukum Chandra Hamzah juga mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2009 dalam uji materil UU Tipikor Rabu 18 Juni 2025.
Menurut Chandra, Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 3 UU Tipikor yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Chandra menjelaskan, tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau bersifat ambigu maupun tidak boleh ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asas lex certa maupun lex stricta. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, maka penjual pecel lele di trotoar juga dapat dikenakan sanksi tersebut.
Sebab, penjual pecel lele termasuk “setiap orang” yang melakukan perbuatan “melawan hukum” dengan berjualan di atas trotoar yang seharusnya digunakan pejalan kaki, kemudian penjual pecel lele juga bisa dikatakan mencari keuntungan atau “memperkaya diri sendiri” dengan berjualan di trotoar yang membuat fasilitas publik milik negara itu rusak sehingga dapat dianggap pula “merugikan keuangan negara”.
“Maka penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ujar Chandra di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Sementara itu, dia mengatakan, Pasal 3 UU Tipikor pun memuat frasa “setiap orang” yang dapat mengingkari esensi dari korupsi itu sendiri. Sebab, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang cenderung korup. Padahal juga, ketentuan ini telah menegaskan adanya jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi. Kemudian yang kedua, merevisi Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dengan mengganti, menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah kita jadikan norma, ‘Setiap Orang’ diganti dengan ‘Pegawai Negeri’ dan ‘Penyelenggara Negara’ karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa ‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara’ sebagaimana rekomendasi UNCAC,” tutur Chandra.
Di samping itu, Pemohon juga menghadirkan Ahli Keuangan Amien Sunaryadi yang juga mantan wakil ketua KPK periode 2003-2007. Amien mengatakan, berdasarkan data survei menyebutkan jenis korupsi yang paling banyak terjadi di lapangan ialah suap. Dia juga menyebutkan, aparat penegak hukum di Indonesia itu lebih banyak mengejar korupsi jenis merugikan keuangan negara.
“Cara kerja aparat penegak hukum dan juga pemeriksa keuangan tidak akan menjadikan Indonesia bebas dari korupsi, karena korupsi yang paling banyak adalah suap, korupsi yang ditulis di Undang-Undang yang berlaku Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah suap tapi yang dikejar-kejar merugikan keuangan negara,” kata Amien.
PENULIS URINO ZATESA
EDITOR ; ABDUL MUIS