Kasus Badai NTB Mungkinkah Pengadilan Akan Gunakan Restoratif Justice Sesuai Perma No 1/2024

Uswatuhn Khasanah

DOMPUBICARA-Sepak terjang Badai NTB yang bernama lengkap Uswatun Khasanah asal Kabupaten Bima NTB akhir-akhir ini cukup popoler seantero bumi pertiwi. Bagaimana tidak aksinya dalam membongkar kejahatan extra ordinary crime, narkoba menjadikan dia berada dipapan atas dalam beranda dan sistem pencarian informasi media sosial, terlebih yang dia bongkar berfokus pada kejahatan yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum yakni anggota Polri.

OLEH : ABDUL MUIS DOMPU

Tetapi sebulan terakhir nama Badai NTB mulai meredup bahkan tenggelam karena sudah tak ada lagi aksi-aksi berani yang bisa ditunjukan terutama lewat media sosialnya. Ya memang dia sudah tak bisa lagi sebebas dulu karena terkungkung ulahnya yang secara spontan melakukan penganiyaan dan pengrusakan terhadap rekan dan sahabatnya sendiri yang menyebabkan korban terluka dibagian muka dan HP milik korban rusak sehingga dia ditahan di Polsek Rasanae Kota Bima atas tuduhan melanggar pasal 351 dan pasal 406 KUHP.

Menilik dari pasal yang disangkakan penyidik, Badai NTB dijerat dengan pasal 351 ayat (1) dan pasal 406 ayat 1 KUHP yang mana bunyi dan esensinya sama yakni dengan ancaman pidana 2 tahun 8 bulan. Pasal 351 mengatur tentang tindak pidana penganiayaan dan pasal 406 mengatur tentang tindak pidana pengrusakan.

Dua pasal yang dikenakan tersebut ancaman hukumanya dibawah 5 tahun, pertanyaan berikutnya kenapa badai NTB ditahan. Pertanyaan ini tentu disampaikan oleh orang umum yang hanya bersandar pada logika dan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dimana tindak pidana  ringan yang ancama hukumannya kurang dari 5 tahun kebanyakan tidak dilakukan penahanan.

Tetapi dalam kasus yang menjerat badai NTB penyidik Polres Kota Bima memakai alasan subyektif sesuai yang tertuang dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP dimana perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dengan adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, mengulangi tindak pidana, atau akan menghilangkan atau merusak bukti.

Terlepas dari alasan-alasan hukum yang bisa dibenarkan, mari kita tengok semangat negara melalui aparat penegak hukum (APH) Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung yang kini mengendepankan pendekatan restoratif dalam menyelesaikan perkara tindak pidana tertentu yang bertitik fokus pada pemulihan korban maupun pelaku serta rekonsiliasi dalam masyarakat.

Apakah kasus yang menimpa Badai NTB versus sahabatnya sendiri Rara bisa diselesaikan dengan pendekatan Restoratif Justice? (RJ), jawabanya tentu saja tergantung sungguh pada korban, pelaku serta aparat penegak hukum yang menangani perkaranya. Kapolri sendiri sebenarnya telah memiliki peraturanya yang bernomor 8 tahun 2021 yang mengatur penerapan RJ

Aturan ini menjelaskan bahwa penerapan RJ dilakukan pada kegiatan penyelenggaraan fungsi Reserse Kriminal, penyelidikan, atau penyidikan.  Dalam penjelasanya ada pengeculian yang diterapkan Tindak Pidana RJ seperti tindak pidana pembunuhan, kekerasan seksual terhadap anak, narkoba, dan tindak pidana yang menimbulkan keresahan luas.

Sedangkan dalam Proses Penerapan RJ, adalah mengatur proses bagaimana penyidik atau penyelidik dapat melakukan upaya RJ, termasuk mediasi dan melibatkan tokoh masyarakat.  Peraturan ini juga menjelaskan bagaimana pengawasan terhadap penghentian penyelidikan atau penyidikan berdasarkan RJ dilakukan melalui gelar perkara khusus.

Begitu juga dengan Kejaksaan, lembaga ini juga memiliki semangat yang sama dalam menyelesaikan perkara dengan pendekatan restoratif justice (RJ) melalui peraturan bernomor 15 tahun 2020.  Tujuanya untuk mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum, serta mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan.

Peraturan ini menekankan pada pendekatan keadilan restoratif, yaitu fokus pada pemulihan kondisi korban dan pelaku, serta melibatkan mereka dan masyarakat dalam penyelesaian perkara.  Kejaksaan dapat saja menghentikan penuntutan atas dasar kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi, dengan tujuan menghindari stigma negatif, pembalasan, dan menjaga harmoni masyarakat.

Sedangkan syarat penghentian penuntutan adalah berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan prinsip keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan proses yang cepat, sederhana, serta biaya ringan.  Kejaksaan berperan sebagai fasilitator dalam proses perdamaian, memastikan proses tersebut tidak dilakukan dengan paksaan atau intimidasi.  Jika proses perdamaian tercapai, korban dan pelaku membuat kesepakatan perdamaian secara tertulis, yang dapat berupa sepakat berdamai dengan atau tanpa pemenuhan kewajiban tertentu.  Dan penerapanya berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan mengatur tata cara pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif oleh Kejaksaan.

Mahkamah Agung juga memiliki peraturan tersendiri dalam pendekatan perkara yang mengedepankan restoratif justice. Peraturan dimaksud adalah Perma nomor 1 tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Perma ini menetapkan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif, yang menekankan pemulihan dan rekonsiliasi.

Perma ini mengatur bagaimana hakim dapat mempertimbangkan kesepakatan perdamaian, tanggung jawab pelaku atas kerugian korban, dan upaya pemulihan lainnya sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana yang lebih ringan atau bahkan tidak dipidana. Perma ini juga menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar sebuah perkara dapat diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif, seperti ancaman pidana yang tidak terlalu berat dan kesediaan korban untuk berpartisipasi dalam proses perdamaian.

Contoh peerapanya, dalam kasus tindak pidana ringan dengan kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000, jika korban bersedia berdamai dan pelaku bertanggung jawab atas kerugian, hakim dapat mempertimbangkan untuk menjatuhkan pidana bersyarat atau pengawasan sesuai dengan ketentuan.

Dalam kasus yang melibatkan anak, pendekatan restoratif dapat digunakan untuk memprioritaskan pemulihan anak dan keluarga, serta menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana yang formal.

Begitu dengan kasus yang melibatkan perempuan, pendekatan restoratif dapat digunakan untuk menangani perempuan yang menjadi korban tindak pidana atau yang terlibat dalam kasus hukum, dengan memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan dan kondisi perempuan tersebut.

Dari aturan-aturan yang dikeluarkan oleh para petinggi lembaga hukum dinegeri ini terlihat jelas semangatnya dalam menyelesaikan perkara terutama tindak pidana ringan. Semangatnya adalah sama yakni sistem pemidanaanya tidak lagi bersifat restributif pembalasan, atau dengan menghukum seseorang dengan seberat-beratnya seolah-olah hukum sudah ditegakan.

Tetapi lebih kepada pendekatan yang berupaya menyelesaian konflik atau kejahatan dengan fokus pada pemulihan korban, pertanggungjawaban pelaku, dan pemulihan hubungan dalam masyarakat, bukan hanya fokus pada hukuman. Tujuan utama restorative justice adalah untuk menciptakan keadilan yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan, serta mengurangi beban aparat penegak hukum.

Melihat dua orang sahabat yang terjebak dalam kasus tindak pidana, Badai NTB Versus Rara yang kini terus bergulir diranah hukum, maka publik terus menunggu tehnik-tehnik penyelesaikan aparat penegak hukum yang akan diberlakukan pada keduanya. Mungkinkan APH menggunakan semangat RJ dalam menyelesaikan perkara ini, terutama pada Pengadilan sebagai pintu terakhir keadilan diperoleh.

Penyelesaian akhir dari kasus yang menimpa Badai NTB ini, tidak hanya menjelaskan tentang duduk perkara serta berat ringanya putusan kasus  penganiayaan dan perusakan oleh pelaku dan korban, lebih dari itu akan menempatkan sudut pandang publik tentang tata cara serta memberikan penghormatan terhadap peraturan serta semangat yang telah dibuat oleh petinggi masing-masing APH.  Mari kita tunggu. (*)

Exit mobile version