oleh

‘Ngaha Kawiri’ Budaya Yang Dipaksakan?

  Ngaha Kawiri yang dalam bahasa indonesianya makan bubur adalah sebuah tradisi yang pernah hidup dan berkembang di masyarakat Kabupaten Dompu tempo dulu, tradisi ini menempati kasta tertinggi sebagai usaha dalam memperbaiki hidup. Ngaha kawiri dilaksanakan bila mendapatkan keuntungan hidup, tetapi lebih banyak dilakukan manakala seseorang atau masyarakat mendapatkan sesuatu musibah dan cobaan.

Dalam istilah kerenya tolak bala, ngaha kawiri bisa dilakukan sekali dalam setahun, dua kali setahun atau lebih tergantung sungguh dari musibah dan cobaan yang datang. Salah satu contoh bila masyarakat ditimpa penyakit yang mematikan, beberapa orang tiba-tiba meninggal tanpa sebab, kemudian hama menyerang usaha mereka dibidang pertanian dan lain-lain. Ngaha kawiri adalah salah satu cara untuk menolak bala dan bencana yang datang.

Bila sudah seperti itu masyarakat secara keseluruhan mengadakan ngaha kawiri secara bersama-sama, mulai dari ujung kampung sampai ujung kampung lainya dengan satu keyakinan cara itu bisa menolak bala bencana yang datang serta menghilangkan penyakit yang diderita. Ngaha kawiri tidak perlu ada yang komando karena memiliki satu kepentingan, kepentingan untuk menyelamatkan perkampungan mereka.

Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi tradisi itu sudah mulai dilupakan orang, bila ditimpa musibah seperti penyakit, masyarakat sudah tidak ingat lagi dengan ngaha kawiri, karena mereka sudah bisa datang sendiri ke mantri maupun dokter, ditambah lagi dengan reaksi pemerintah yang segera turun tangan secara medis menanganinya.

Begitu juga bila ditimpa musibah dibidang pertanian seperti serangan hama, petani tidak lagi bergantung penuh dengan kawiri karena sudah ada obat moderen yang cepat menanganinya. Dan yang lebih penting dari semua itu masyarakat bisa berharap bantuan dari pemerintah sebagai kompensasi akibat tertimpa musibah tadi. Perkembangan itu menjadikan ngaha kawiri berangsur-angsur dilupakan, pemerintah Kabupaten Dompu tampaknya ingin kembali menggalakan tradisi itu sebagai usaha membangun kebersamaan yang pernah ada, sebab diajang ngaha kawiri akan tercipta semangat baru untuk menatap kehidupan yang lebih baik.

Tetapi ngaha kawiri model sekarang, tidak lagi seperti dulu yang secara suka rela datang dari hati sanubari masyarakat sendiri. Pemerintah harus mendorong bahkan sedikit memaksa dengan sebuah kebijakan dengan mengharuskan setiap SKPD untuk ikut memantau sekaligus membiayai kegiatan itu, tetapi itupun tidak bisa membuat masyarakat secara sadar untuk datang ramai-ramai melaksanakan tradisi itu, malah yang terlihat diberbagai tempat hanya dipenuhi oleh anak-anak yang sebenarnya belum mengerti apa-apa.

Memang fakta membuktikan bahwa tradisi ngaha kawiri tidak lagi dirasa sebagai kebutuhan, anak-anak saja kalau diminta untuk datang ngaha kawiri disubuh jum’at misalnya selain harus menyediakan bubur yang enak rasanya, pas gula garam, juga harus menyediakan uang saku bagi mereka. Kalau tidak disediakan uang saku saat mereka pulang maka jangan harap undangan lain kali mereka bisa datang lagi. Ho..ho…ho, tradisi nasibmu……..

{gallery}ngaha_kawiri{/gallery}

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]