oleh

Sesat-Pikir Pembangunan Kantor Bupati Dompu

OLEH : ILIYAS YASIN

Dosen YAPIS Dompu

Saya tidak tahu persis apa alasannya, tapi pembangunan kantor Bupati Dompu di tempatnya yang lama sekarang sulit dimengerti dan sangat disayangkan. Seiring perkembangan kota, tadinya saya berharap kantor bupati dipindahkan dan dibangun ke tempat yang lebih luas dan strategis, seperti di sekitar wilayah Selaparang atau di desa Bara Kecamatan Woja.

 

Intinya, lokasi baru itu harus mempertimbangkan akses dan kenyamanan pelayanan publik. Karena di sekitar wilayah kota Dompu hampir semuanya dikelilingi areal persawahan maka resiko alih fungsi lahan memang tidak terhindarkan.

 

Namun jelas, lokasi kantor bupati sekarang sudah kurang layak untuk beberapa dasawarsa ke depan. Sebaliknya, kantor bupati itu lebih baik dijadikan alun-alun, taman atau lapangan bola sebagai ruang perjumpaan sosial warga.

 

Apalagi sudah ada taman kota yang meski mungil, sudah dibangun terlebih dahulu di depan kantor bupati. Bisa dikatakan Bupati H. Bambang M Yasin (HBY) ini tergolong “bugiman” alias bupati gila taman. Sejak periode pertama kepemimpinannya (2010-2015), dia tampaknya punya kepedulian untuk menata dan membangun taman di beberapa titik seperti di depan kantor bupati, depan RSUD, depan Kodim, bukit Larema atau di depan Puskesmas Dompu barat.

 

Secara pribadi saya terkesan dengan terobosannya ini. Meski begitu, jumlah taman ini tentu belum memadai untuk melayani kebutuhan rekreatif warga. Itulah sebabnya, kantor bupati itu lebih baik untuk menambah taman yang ada. Ini akan makin mempercantik suasana kota.

 

Mungkinkah Pemda tidak cukup punya dana untuk pembebasan lahan? Mungkin iya, tapi jika kita berpikir ke depan maka sekaranglah saat paling tepat untuk menata kota ini secara bertahap. Di samping ketersediaan lahan masih memungkinkan juga lebih ekonomis karena harga tanah relatif belum terlampau mahal.

 

Apalagi secara politik, posisi dan legitimasi Bupati HBY kini berada di atas angin. Kendati sempat tersandung dengan kasus “K2” tapi hal itu tidak banyak berpengaruh terhadap tingkat elektabilitas dan legitimasi politiknya. Sejauh ini, masyarakat masih memandang HBY sebagai “pahlawan” ekonomi, terutama berkat keberhasilannya dalam program “Terpijar” (Tebu Rakyat, Sapi, Jagung dan Rumput Laut). Ini mengantarkannya sebagai satu dari 10 kepala daerah terbaik tahun lalu.

 

Dengan sejumlah capaiannya yang impresif itu maka upaya memindahkan kantor bupati bakal mendapatkan dukungan banyak pihak. Ini sekaligus akan menjadi peninggalan (legacy) HBY yang manis untuk dikenang. Saya tidak tahu bagaimana suara kalangan DPRD tentang hal ini. Tetapi semestinya kalangan dewan juga harus mendukung, bahkan mendorong bupati untuk berani mengambil keputusan demi kepentingan publik yang lebih luas.

 

Kendati kepala daerah maupun legislator itu jabatan politik, namun mereka juga seharusnya tetap dipertemukan oleh komitmen yang sama jika menyangkut kebutuhan publik yang lebih luas dan mendasar.

 

Pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti taman, tidak sekadar memenuhi tuntutan undang-undang yang mengharuskan ketersediaan 30% Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebuah kota, tapi juga ia punya fungsi strategis dalam mempengaruhi dan membentuk relasi sosial antarwarga.

 

Dalam hal ini, fasum dan fasos akan menjadi ruang-ruang perjumpaan sosial guna meluruhkan kesenjangan sehingga pembangunan sebuah kota semestinya harus tetap memperhatikan dimensi batin warganya. Bagi daerah yang rawan konflik sosial seperti Dompu dan Bima, ketersediaan ruang perjumpaan semacam ini menjadi penting untuk mengurangi tensi, ketegangan serta kecurigaan antarwarga.

 

Di ruang perjumpaan itu maka sekat-sekat agama, etnisitas, afiliasi politik maupun ekonomi menjadi cair. Di tengah sampah ujaran kebencian serta prasangka seperti sekarang maka ruang-ruang perjumpaan semacam ini tentu sangat berarti.
Saya melihat orientasi kepemimpinan HBY periode kedua ini masih berkutat pada sektor ekonomi dan infrastruktur (termasuk kesehatan). Itu tentu baik. Tetapi ke depan hal itu tidak cukup. Pembangunan di sektor pendidikan, birokrasi, agama maupun budaya harusnya juga mulai disentuh. Di samping berupa bangunan fisik, ruang perjumpaan itu juga harus difasilitasi dalam berbagai aktivitas warga seperti kegiatan olahraga, kesenian (kapan ya Pemda Dompu membangun gedung kesenian, misalnya), festival budaya dan lainnya.

 

Kalau tidak maka sesat-pikir pembangunan seperti di masa lalu akan terulang: bahwa yang berlangsung itu bukan “pembangunan daerah” tapi “pembangunan di daerah”. Ini jelas menyalahi tujuan awal otonomi daerah. Selain itu, sesat-pikir pembangunan itu akan berbuah absurd, apalah arti gemerlapnya capaian ekonomi jika menggerus karakter serta berbagai kearifan lokal yang ada. Apa arti masyarakatnya beroda empat jika jalanan kita justru berubah menjadi ladang kematian, misalnya?

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]