oleh

Kesadaran Situsional Dalam Demokrasi

OLEH : ARDANI

Pesta demokrasi tinggal menghitung bulan. Tepatnya 17 april 2019 seluruh rakyat indonesia yang mempunyai hak pilih akan menentukan pilihan pada pilihan terbaik dari yang baik.

Pemilu adalah momentum untuk memilih pemimpin nasional (eksekutif & legislatif) secara konstitusional sesuai dengan amanat UUD 1945. Dalam UU no 17 tahun 2017 tentang pemilu bab 1 pasal 1 dikatakan pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, anggota dewan perwakilan daerah, Presiden dan wakil presiden dan untuk memilih anggota dewan perwakilan daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam negara kesatuan republik indonesia berdasarkan pancasila dan undang- undang dasar republik indonesia tahun 1945.

Sebagai hajatan yang rutin dilakukan setiap lima  tahun sekali, pemilu harus dilaksanakan secara profesional yakni harus berlandaskan asas, prinsip dan tujuan penyelenggaraan pemilu.

Penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, Bawaslu dan DKPP harus di nahkodai oleh putra-putri terbaik bangsa ini yang mempunyai integritas, netralitas, independen dan profesional. Tujuannya agar melahirkan pemilu yang berkualitas dan pemimpin yang berkualitas.

Sebagian dari kita rakyat indonesia menganggap pemilu adalah rutinitas 5 tahunan. Rakyat hanya dihadapkan pada tokoh tokoh yang cenderung tidak ada perubahan, pola-pola kampanye yang cenderung materialistik dan kecenderungannya menghasilkan pemimpin  yang tidak pro rakyat khususnya kaum marginal.

Padahal, persepsi itu tidak seutuhnya benar. Sejak pemilu pertama dilaksanakan tahun 1955 sampai pemilu tahun 2019 ini mempunyai dinamikanya masing masing. Pemilu 2019 dengan massifnya sosial media menjadi tantangan dan daya tariknya sendiri.

Peran sosial media bahkan hampir  menenggelamkan peran media konvensional. Sampai disini kita bisa mengatakan, rakyat mempunyai akses dan andil yang luar biasa dalam upaya mewujudkan pemilu yang berkualitas dan upaya memilih pemimpin dan  wakil yang berkualitas dan pro rakyat.

Untuk memastikan pemilu yang berkualitas, penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) harus benar-benar mengetahui setiap detail dan keadaan untuk dapat mengendalikan situasi.

Inilah yang saya katakan sebagai Kesadaran Situasional (KS). Saya mendefinisikan kesadaran situasional (KS) sebagai pemahaman unsur-unsur dalam lingkungan ruang dan waktu.

Pemahaman akan makna dan proyeksi keadaan mulai dari tahapan perencancanaan program dan anggaran, penyusunan peraturan KPU, pemutakhiran DPT, pengaturan kampanye sampai tahapan terakhir yaitu pengucapan sumpah dan janji.

Setiap pemilu dilakukan mulai pemilu 1955 sampai pemilu 2019 mengalami situasi yang berbeda. Bahkan ketika pemilu dilakukan di suatu daerah yang sama, dengan calon eksekutif dan legislatif yang cenderung sama, dengan materi, tahapan pemilu yang sama, tetaplah mengalami situasi yang berbeda.

Karena pemilu adalah pesta rakyat yang memiliki kecenderungan yang dinamis apalagi dalam era kemajuan teknologi digital dan massifnya sosial media ini. Belum lagi Daftar pemilih yang setiap tahun mengalami perubahan. Artinya setiap pemilu dilakukan kemungkinan akan berhadapan dengan rakyat yang yang tidak sepenuhnya sama dengan pemilu sebelumnya.

Untuk penyelenggara pemilu, Kesadaran Situasional merupakan gambaran mental tentang hubungan dengan lokasi kondisi georafis NKRI, keadaan rakyat (DPT), peserta pemilu dan juga faktor lain yang mempengaruhi pelaksanaan pemilu.

Dalam konteks penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu dan DKPP tidak hanya bekerja sebagai individu tapi sebagai anggota tim bahkan mewakili harapan seluruh rakyat indonesia yang menginginkan pemilu berkualitas dan pemimpin/ wakil yang berkualitas dan pro rakyat.

Hal ini penting untuk di pikirkan bahwa kesadaran situasional tidak hanya untuk perorangan saja. Bukan hanya KPU, Bawaslu, DKPP yang harus memperhatikan kesadaran situasional, pihak pihak yang menjadi mitranya juga harus memperhatikan kesadaran situasional untuk membiasakan diri dengan faktor eksternal dan faktor lingkungan yang mempengaruhi kelancaran pemilu.

Mempertahankan kesadaran situasional setiap hari sepanjang tahapan pemilu bukanlah pekerjaan mudah. Ada beberapa faktor yang dapat menguranginya yaitu gangguan dari pihak pihak tertentu, berita hoaks, penyelenggara pemilu dan mitra yang tidak mempunyai integritas dan netralitas, peserta pemilu yang tidak taat aruran, dan hal teknis lainnya.

Meski demikian, penyelenggara pemilu harus terus berlatih dan belajar secara kontinyu untuk menghadapi situasi yang tak terduga dan berusaha memperbaiki kesadaran situasional secara bertahap dengan cara memikirkan bagaimana langkah langkah untuk mengantisipasi bila ada kondisi yang berpotensi mengganggu pelaksanaan pemilu.

Mengidentifikasi faktor dan mengenali faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pemilu dan mencari solusi ( meskipun sudah ada pedoman misalnya UU no 7 tahun 2017 ) untuk mengatasi masalah itu harus menjadi pemikiran sehingga pelaksanaan pemilu lebih berkualitas.

Penyelenggara pemilu juga harus terlatih memberikan penilaian terkait dengan beberapa hal yang berpotensi merusak kualitas pemilu.  Itulah alasan mengapa penyelenggara pemilu harus di isi oleh putra/i terbaik bangsa ini yaitu yang profesional, berintegritas, netralitas dan independen.

Tujuanya adalah agar penyelenggara pemilu mampu menghadapi situasi apapun dan dalam kondisi yang apapun.

Penulis adalah guru SMK di Dompu NTB

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]