oleh

Drama Korea dan Pilkada

 

Oleh : Suherman

Drama Korea (Drakor) yang berjudul “The World Of The Married”, telah mampu menggugah, meluluh-lantakkan dan pada saat yang sama mampu membangkitkan perasaan emosi, sensasi dan bahkan gairah “emak-emak” di tanah air, khususnya “emak-emak” di Dompu.

Meski saya tidak pernah menontonnya, namun terlihat jelas dari respon dan luahan perasaan para “emak-emak” di sosial media, terutama facebook. Ada yang bawa perasaan (baper), sedih, kecewa, dan tidak sedikit yang marah.

Sesungguhnya disitulah kesuksesan terbesar dari pekerja drama (sutradara, pemeran, kru dsb) yang informasinya mendapat ratting tertinggi untuk saat ini.

Sebagaimana drakor, untuk sukses menggugah perasaan emosi, sensasi, dan bahkan gairah pemilih untuk memilih di Pilkada. Maka, sekurang-kurangnya ada empat hal yang bisa dilakukan para aktor politik (calon, timses dsb) belajar dari pembuatan drama korea yang sukses dan viral ini.

Pertama, bekerja dalam satu tim yang solid. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana dalam proses pembuatan drama ini, kalau masing-masing pemain, kru atau tim yang ada didalamnya tidak bekerja dalam satu irama dan sistem atau bahkan mereka bekerja/bermain sendiri-sendiri. Tentu, sangat tidak mungkin menjadi tayangan drama yang akan ditonton banyak orang.

Begitupun dalam Pilkada, meraih kesuksesan (terpilih) tidak bisa dilakukan oleh personal/perseorangan calon atau tim itu sendiri seberapapun hebatnya. Maka, harus bekerja dalam satu tim yang solid. Bekerja dalam irama dan sistem yang terukur. Dalam bahasa umum, bekerja menjadi super tim bukan super man.

Kedua, kompetensi. Para pekerja pembuatan drama, masing-masing memiliki kompetensi (kemampuan) baik itu kompetensi teknis, administrasi maupun kompetensi personal berupa kemampuan akting, kemampuan komunikasi dan kemampuan-kemampuan lainnya. Sehingga dengan kompetensi yang dimilikinya, dapat menghasilkan drama terbaik.

Dalam pilkada juga berlaku hal yang sama. Untuk sukses dipilih, maka, aktor politik harus memiliki kompetensi (kemampuan). Sekurang-kurangnya kemampuan personal diantaranya kemampuan mempengaruhi orang lain, kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengambil keputusan dan kemampuan-kemampuan personal lainnya.

Ketiga, totalitas. Suksesnya tayangan drakor tesebut, karena semua orang yang terlibat dalam pembuatannya bekerja secara total, tidak bekerja setengah-tengah. Tidak setengah waktu maupun setengah hati.

Nah, dalam pilkada juga demikian, ingin sukses terpilih maka seluruh kemampuan, energi, waktu dan bahkan biaya harus dikeluarkan secara totalitas.

Biaya yang dimaksud dalam tulisan ini adalah biaya yang dikeluarkan oleh calon untuk sosialisasi, konsolidasi, dan mobilisasi dan melakukan aktivitas kampanye.

Kalau setengah-tengah, lebih baik mundur atau tidak mencalonkam diri karena separuh kekalahan sudah ada didepan mata. Apalagi kalau pilkada dijadikan ajang “coba-coba”.

Keempat, drama ini mengangkat cerita atau kisah yang memang nyata terjadi di kehidupan sosial masyarakat saat ini. Seperti kisah percintaan, rumah tangga, perselingkuhan dan sebagainya.

Dalam pilkada, untuk sukses dipilih aktor politik semestinya mengangkat kisah atau cerita yang lazimnya terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Misalnya cerita soal ekonomi kesejahteraan (pertanian dan perikanan), kesehatan dan pendidikan serta cerita-cerita lainya yang kemudian diangkat dan dituangkan dalam visi, misi dan program kerja.

Dengan kata lain bahwa visi, misi dan program kerja calon harusnya dibuat berdasarkan realitas dan kebutuhan nyata masyarakatnya.

Mengakhiri tulisan ini, baik dalam drama korea maupun pilkada, aktornya sama-sama mencitrakan dirinya. Nah, disitu penonton (baca : pemilih) harus jeli dan teliti untuk memilah dan memilih. Jangan sampai memilih yang hanya melakukan pencitraan diri!!

Penulis adalah peminat urusan pilkada bukan penikmat drakor.

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]