oleh

Membaca Perppu Pilkada, Catatan Kritis dan Harapan

OLEH : SUHERMAN

AKHIRNYA Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Pilkada diterbitkan pemerintah. Perppu yang dinanti-nanti oleh banyak pihak sebagai dasar hukum penundaan dan pelaksanaan Pilkada serentak lanjutan itu telah ditanda tangani Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, Senin, 4 Mei 2020.

Perppu Nomor 2 Tahun 2020 itu memuat 3 (tiga) pasal yaitu pasal 120 yang terdiri dari pasal 1 dan 2, pasal 122A yang terdiri dari pasal 1 dan 2, dan Pasal 201A yang terdiri dari pasal 1, 2 dan 3. Ketiga pasal tersebut memberikan jaminan, kepastian hukum dan legalitas bagi KPU.

Pertama, memberikan kepastian hukum dan legalitas bagi KPU untuk melakukan penundaan pilkada secara serentak nasional akibat bencana non alam berupa covid-19 yang dalam UU sebelumnya tidak diatur.

Kedua, memberikan kepastian hukum dan legalitas bagi KPU untuk menerbitkan keputusan KPU tentang penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak sebagai dasar untuk melanjutkan pemilihan serentak.

Namun demikian, penetapan penundaan dan pelaksanaan tahapan pemilihan serentak lanjutan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Ketiga, Perppu ini juga menegaskan dan memberikan kepastian hukum bahwa pemungutan suara yang sebelumnya dilaksanakan pada 23 September 2020 ditunda dan akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020 selaras dengan hasil kesepakatan Komisi II bersama mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP beberapa waktu lalu (12 April 2020) dan sesuai dengan Opsi A yang direncanakan KPU.

Namun demikian, Perppu juga memberikan opsi dalam hal pemungutan suara serentak 2020 tidak dapat dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Maka pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam berakhir, melalui mekanisme persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR.

Catatan Kritis Terhadap Perppu dan Harapan

Penulis berpandangan setelah membaca dan menelaah tiga pasal dalam Perppu diatas.

Pertama, Perppu ini terkesan “coba-coba” dan “terburu-buru” ditengah ketidakpastian kapan pandemi covid-19 ini akan berakhir. Kesan coba-coba dan terburu-buru ini muncul ketika menegaskan pelaksanaan pemungutan suara di bulan Desember. Namun, pada saat yang sama memberikan opsi akan ditunda tergantung kondisi pandemi Covid-19.

Mestinya kalau pemerintah optimis pandemi Covid-19 ini segera berakhir, maka pastikan saja pelaksanaan di bulan Desember. Tidak perlu memberikan ruang opsional.

Kedua, mekanisme persetujuan bersama dalam menyusun peraturan KPU. Di dalam UU, KPU dalam menyusun peraturan KPU (PKPU) disyaratkan berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR (Komisi II). Namun, sifat konsultasinya tidak mengikat, hanya meminta pandangan dan masukan.

Namun dalam Perppu, disebut persetujuan. Ini tentu akan berpotensi mengganggu integritas dan kemandirian KPU dalam menyusun PKPU yang tentunya akomodasi kepentingan pemerintah dan komisi II itu berpotensi terjadi.

Sebab, implikasi dari persetujuan adalah setuju dan tidak setuju. Kalau setuju, cenderung tidak menimbulkan masalah. Namun, bagaimana kalau ada yang tidak setuju. Tentu, konflik dan kompromi akan memungkinkan terjadi antara KPU, mendagri maupun komisi II.

Ketiga, ketika tahapan pilkada mulai diselenggarakan oleh KPU pada bulan juni maka harusnya Keputusan dan Instruksi Presiden serta Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan penanganan Covid-19 dicabut.

Keputusan dan instruksi serta Peraturan Pemerintah itu antara lain Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional. Keputusan Presiden (keppres) Nomor 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dinilai tepat. Begitu juga PP 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

Serta Instruksi Presiden Republik Indonesia yang meminta seluruh masyarakat untuk bekerja, beraktivitas, dan beribadah di rumah, termasuk membatasi interaksi antarwarga.

Penulis berharap, saat melaksanakan tahapan Pilkada ditengah pandemi covid-19. Harus ada jaminan kenyamanan dan keselamatan jiwa penyelenggara, peserta maupun pemilih agar tidak terinfeksi oleh virus tersebut.

Pilkada adalah aktivitas berkerumun dan berkumpul, apakah itu tahapan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, pemutakhiran data pemilih, pendaftaran bakal calon, kampanye maupun tahapan pemungutan dan penghitugan suara serta tahapan lainnya. Semuanya melibatkan banyak orang.

Khsusus bagi penyelenggara pemilu harus dipastikan dan dioerhatikan bahwa dalam menjalankan tahapan pilkada agar sesuai dengan standar dan mekanisme penanganan dan pelayanan covid-19. Serta memastikan SDM penyelenggara pemilu ditingkat bawah PPS, PPK benar-benar cermat, teliti, tanggap dan responsif terhadap penyelenggaraan tahapan ditengah pandemi. Tentu untuk jaminan ini, mau tidak mau, suka atau tidak suka harus didukung oleh ketersediaan (tambahan) anggaran.

Semoga pandemi ini cepat berlalu, agar keselamatan jiwa manusia yang ber-pilkada dapat terjamin sehingga Pilkada untuk, dari dan oleh manusia dapat terselenggara secara berintegritas dan berkualitas.

Penulis adalah Anggota KPU Dompu Periode 2014-2019.

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]