MATARAM-Kasus dugaan pembangunan Shelter Tsunami Lombok Utara dengan kerugian negara sebesar Rp 18,48 Miliyar sudah memasuki persidangan tahap akhir di Pengadilan Tipikor Mataram NTB. Masing-masing pihak mengajukan saksi ahli dalam menghitung kerugian negara baik untuk membuktikan dakwaan KPK maupun membantahnya.
Koordinator tim audit penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) dari BPKP NTB Mizwan mengemukakan sesuai dengan hasil audit yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai total loss atau kerugian total sehinga angka yang muncul sesuai dengan surat perintah pencairan dana sebesar Rp 18,48 miliyar.
Mizwan menambahkan penhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara berjalan pada tahun 2024 jauh dari pengerjaan proyek tahun 2014. Diapun tidak memungkiri dalam rentang waktu tersebut potensi penyusutan pasti ada. Sedangkan landasan tim audit menyimpulkan kerugian negara Rp 18,48 miliyar didasarkan pada nilai total prosek sebesar Rp 20,9 miliyar.
Penilaian dilihat dari seluruh proses mulai dari tahapan pemilihan penyedia, pelaksanaan kontrak, serta terima pekerjaan hingga aspek pemanfaatan. Termasuk menggunakan data pendukung hasil analisa ahli yang memiliki kompetensi bidang proyek fisik mulaid ari LKPP , konstruksi, itjen dan puslitbang Kementrian Pekerjaan Umum serta keuangan.
Tim audit turut mempertimbangkan dampak dari peristiwa gempa bumi berkekuatan 7 SR pada tahun 2018 dengan titik pusat berada di Kabupaten Lombok Utara. ”Faktanya gedung runtuh tahun 2018 akibat gempa dan ahli dari ITB menyebutkan ini bangunan gagal laporan itjen juga itu daya dukung tingkat kedalaman 10 meter tidak mampu gedung ini,”terangnya.
Sementara ahli tehnik bangunan lulusan The Pennsylvania Amerika Serikat Ir Ar Jimmy Siswanto Juwana yang dihadirkan terdakwa menyatakan bahwa kerusakan pembangunan Shelter Tsunami Lombok Utara hanya sekitar 4,26 persen atau kerugian negara sebesar Rp 890 juta dari total anggaran pembangunan sebesar Rp 20 Miliyar.
Dengan kondisi kerusakan yang mencapai 4,26 persen tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kerusakan masuk dalam kategori ringan. ”Artinya kerusakan masih dibawah 30 persen masih bisa diperbaiki,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin hakim ketua Isrin,SH,MH Rabu 30 April 2025.
Jimmy mengatakan hal tersebut dengan mengacu pada Pasal 34 Peraturan Menteri PUPR Nomor 22 tahun 2018 tentang Pedoman Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang diperkuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 tahun 2022 tentang Bangunan Gedung.
“Dalam Pasal 173 ayat (7) PP 16, di situ dijelaskan aturan tentang tingkat kerusakan bangunan gedung,” ucap Jimmy yang mengakui dirinya turut sebagai penyusun dari Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 tahun 2022 tentang Bangunan Gedung tersebut.
Dia kemudian menjelaskan ke hadapan majelis hakim perihal kerusakan bangunan dengan persentase 4,26 persen berdasarkan hasil turun lapangan pada medio Maret 2025.
“Yang rusak itu ada di lantai dasar, tangga dan ramp. Untuk lantai atasnya, dua, tiga dan empat, (tangga dan ramp), meskipun enggak runtuh, tetapi tetap dianggap runtuh. Jadi, kerusakan itu seluruh tangga, ramp, dan dinding dianggap rusak,” kata dia.
Untuk kondisi struktur utama dari bangunan tahun 2014 tersebut, Jimmy yang juga pernah melakukan kajian terhadap struktur bangunan terdampak gempa di Palu, Padang, dan Mamuju menyatakan masih dalam keadaan andal.
“Artinya, tidak terjadi deformasi, tidak ada keretakan, hanya ada pengelupasan kulit beton di lantai dasar saja,” ujarnya.
Oleh karena itu, perihal dakwaan yang menyebut kerugian negara dari pengerjaan proyek ini total loss (kerugian total) karena mutu beton menurun dan azas pemanfaatan tidak terpenuhi sehingga terjadi kegagalan bangunan, Jimmy mengaku belum sependapat dengan hal tersebut.
Dia menganalogikan kerusakan bangunan shelter tsunami ini seperti mobil ambulan dengan kondisi empat rodanya yang bocor.
“Karena empat bannya bocor, ambulan tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Tetapi, mobil ambulan tidak kemudian dibuang, karena ban dapat diganti, dan fungsinya dapat dikembalikan,” ujarnya.
Ahli lain, Ir. Riad Horem yang merupakan tenaga ahli Menteri PUPR Bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah turut memberikan pendapatnya dalam sidang tersebut.
Dia menyampaikan bahwa adanya perubahan detail engineering design (DED) atau rancang bangun rinci yang mengakibatkan Aprialely Nirmala sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) pelaksana proyek dari satuan kerja (satker) milik Kementerian PUPR di NTB menjadi terdakwa, tidak ada diatur secara tertulis dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang masih menjadi landasan pelaksanaan lelang pada pengadaan tahun 2014 tersebut.
“Perubahan itu adalah sebuah keniscayaan bagi PPK pelaksana proyek, maka ketika ada koreksi, itu dibenarkan,” ucap dia.
Dalam tugas pokok, kata Riad, PPK pelaksana proyek berwenang menetapkan seluruh dokumen persyaratan lelang, baik itu harga perkiraan sementara (HPS), DED, spesifikasi teknis, dan waktu pelaksanaan proyek.
“Jadi, PPK itu, dia yang memulai, dia juga yang mengakhiri. Makanya, apa yang ditugaskan ke dia, bisa saja dilihat kembali olehnya, sah-sah saja, artinya semua dokumen bisa dia sesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan, bukan berdasarkan keinginan,” katanya.
Perihal perubahan DED pada tahun 2014 yang tidak ada tanda tangan konsultan perencana dan menjadi kelengkapan dokumen syarat lelang pada sistem pengadaan E-procurement (Eproc), menurut dia, hal tersebut juga tidak menjadi masalah sesuai yang tertera dalam Perpres 54 tahun 2010.
“Tidak ada aturan baku soal syarat dokumen lelang yang di unggah ke sistem Eproc itu harus ada tanda tangan pihak terkait. Sama seperti karcis tol, itu tidak ada tanda tangan, tetapi itu sah,” ujar Riad.
Kedua ahli yang hadir dalam sidang lanjutan perkara korupsi proyek Shelter Tsunami ini merupakan bagian dari saksi ahli yang meringankan terdakwa (a de charge). Selain keduanya, ada juga ahli struktur beton dan gempa dari akademisi Universitas Mataram, Suparjo. Mereka dihadirkan dalam persidangan oleh pihak terdakwa satu, Aprialely Nirmala.
Dalam kasus dugaan korupsi pembangunan shelter Tsunami Lombok Utara Komisi Pemberantasan Korupsi menyerat dua terdakwa yakni Aprialely Nirmala sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Agus Herijanto sebagai kepala proyek dari pihak perusahaan milik negara. (DB01)