oleh

Alhamdulillah….Ya Allah

Tiga tahun lalu, sinar mentari pagi baru saja membiaskan cahaya hingga menembus dinding kamarku, menyinari alam sekitar, setelah semalam dibaluti kelam. Cahaya itu, dengan lembut membelai mesra tetesan embun yang masih bertengger manis menempel pada dedaunan pohon di samping rumahku.

 

Saya bergegas ke kamar mandi ingin cepat-cepat menyiramkan air pada sekujur tubuh, karena sekitar pukul 07.00 Wita ada undangan pertemuan. Namun, baru beberapa gayung air menerpa badan, mendadak napasku sesak, tersekat, tertahan hingga badanku terasa lemas membeku. Namun, keringatku mulai keluar dari pori-pori wajahku.

Saya masih sempat bergegas keluar kamar mandi yang menyesakkan itu, seraya berjalan dan menggerakkan badan. Rasanya, kala itu, dunia ini sudah kiamat, tidak tahu hendak berbuat apa. Mulut terasa terkunci. Apakah ini yang namanya disebut sakratul maut? Istriku tidak tahu-menahu yang kurasakan karena pada saat bersamaan sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan.

Namun, saya bersyukur Tuhan masih memberikan bonus hidup sehingga napasku sedikit demi sedikit mulai lega hingga bisa berucap. Plong. Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah kalimat ini meluncur begitu saja tanpa henti dan tidak tahu berapa kali saya menyebut kalimat indah tersebut, hingga deraian air bening tidak terbendung di pipiku. Hari itu, saya menunda mandi beberapa saat, langkahku bergegas menuju kamar, menghidupkan kompoter dan duduk tawadu’ sambil menunggu media alat tulis itu bisa digunakan.

Curhat-ku mulai meluncur deras pada catatan harianku, deraian airmata mengiringi setiap kalimat yang kurakit indah. Kata demi kata mengalir begitu saja, bak air mataku yang tidak kuasa kubendung. Hari itu jutaan kata syukur dan berterimakasih meluncur deras dalam tulisanku. Awalnya, Alhamdulillah aku bersyukur masih bisa bernafas. Alhamdulillah aku bersyukur masih bisa berkata. Alhamdulillah aku masih bisa bergerak. Alhamdulillah aku masih bisa melihat istriku yang sedang memasak untukku dan anak-anak.

Aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk mencium dan memeluk sayang cinta-kasih dan buah hatiku. Aku bersyukur bisa menuliskan apa saja yang bisa kutulis. Air mataku kian deras membasahi pipiku, hingga pandanganku kabur dan harus diusap beberapa kali. Doaku dalam hati, jika pun aku mati setelah ini tidak mengapa, karena Allah telah memberikan kesempatan hidup untuk mengucapkan kalimat yang seharusnya aku ucapkan pada setiap gerak nafasku. Alhamdulillah.

Aku berusaha mendalami makna kalimat itu hingga menghitung ruas jariku, tulang belulangku, mataku, telingaku, mulutku, otakku, nafsukku, dan nyaris semuanya kusebut. Ruas-ruasku seakan berkata, segala puji bagi Allah yang menghidupkan dan mematikan. Hatiku lega bisa menuliskan apa saja yang berkaitan dengan kalimat itu. Istriku yang memanggilku untuk sarapan tidak kuhiraukan. Aku menyadari karena kedhaifan dan ketotolanku kalimat itu kerap aku lupakan, tetapi jika mengingat kembali peristiwa itu, wajahku sembab dengan deraian air mata. Tuhanku, aku bersyukur masih bisa menangis, aku bersyukur masih bisa mengingatkan kematian yang mengerikan. Semua ini milik-Mu.

Kapanpun engkau suka aku rela, ikhlas. Engkau berkuasa menarik kembali jiwaku keharibaan-Mu. Satu yang kupinta, ya Allah tunjukilah aku melewati jalan yang lurus dan tetapkanlah aku berada dalam shirat-Mu. Ampunilah segala dosaku sejak aku balik hingga aku menemui-Mu. Jika jatah hidupku masih ada, tetapkanlah untuk berkarya amal saleh yang diawali menyebut nama-Mu yang diakhiri kalimat indah, Alhamdulillah…

HM Natsir ayah empat anak, menulis kondisi sekitar untuk dijadikan ibrah bagi hakikat kehidupan. Salam hangat.

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]