oleh

‘Yang’ Tak Pernah Kembali Lagi

Enam tahun sudah waktu sudah berlalu, sebelum kamu meninggalkan aku untuk merantau ke negeri seberang Malaysia menjadi TKI. Kala itu kita baru saja menikah enam bulan dengan usia kandunganku empat bulan.

Sebelum meninggalkan aku, kamu mengajak kepantai dekat rumah, kita berdua duduk disana menikmati indahnya matahari terbenam diufuk barat. Keesokan harinya kamu meninggalkan aku untuk menyongsong kehidupan yang labih baik dengan menjadi TKI dinegeri seberang.

Sebagai pasangan muda kita habiskan sebahagian malam disitu, akupun sempat keberatan untuk kau pergi meninggalkan aku, tetapi kamu bilang itu hanya sementara dan dua tahun kemudian kamu akan kembali dengan membawa sedikit uang untuk dijadikan modal.

Kami memang pasangan muda yang belum memiliki pekerjaan, tetapi kami memiliki semangat untuk maju, ingin punya rumah sendiri, sawah sendiri maupun motor sendiri. Karenanya untuk mendapatkan itu harus merantau mencari pekerjaan. Karena kata orang bekerja diluar negeri bisa mendapatkan uang yang banyak.

Berdasarkan itu akupun merelakan kamu pergi dengan bayangan kamu pulang dengan membawa segepok uang. Aku sangat mengerti kamu sangat sayang dan cinta sama aku, aku juga mengerti kamu berat meninggalkan aku, tapi kubesarkan jiwamu bahwa dua tahun adalah waktu yang pendek, walau perasaanku sendiri kusembunyikan bahwa aku sendiri tidak ingin jauh darimu.

Malam ketika esok kamu harus pergi, aku benar-benar tidak ingin kehilangan moment sedetikpun, kucium dan kupeluk erat-erat, kamupun sempat berbisik bahwa harus tabah dan sabar karena kepergianmu untuk suatu kehidupan, kehidupan bersama anak-anak dimasa mendatang. Esoknya dengan linangan air mata kulepas kepergianmu bersama orang kampung, kamupun sesenggukan seolah berat meninggalkan rumah, meninggalkan aku, meninggalkan orang lain yang kau cintai terutama janin yang ada diperutku.

Enam tahun sudah kamu pergi dan tak mungkin kembali lagi untuk menyayangi aku dan anakmu yang kini sudah berumur lima tahun. Awalnya kamu lancar berkomunikasi mengabarkan berbagai pekerjaanmu disana. Kamu bilang bahwa sebentar lagi akan segera kembali dan ada sedikit uang yang dikumpulkan untuk modal.

Tetapi itu ternyata hanya sebuah rencana anak manusia, kamu yang begitu baik, begitu sayang sama aku harus dipanggil oleh yang maha kuasa dinegeri rantau karena sakit. Khabar meninggalmu bak disambar petir, aku kecewa sama diriku sendiri, kecewa sama takdir yang telah memanggil. Aku menyesal bukan karena kamu tidak bisa kembali lagi, tetapi aku kecewa karena aku tidak bisa mengurusnya, mengantarmu ketempat peristirahatan yang terkahir.

Inilah takdir yang harus kuterima, anakmu kini sudah beranjak dewasa dan terkadang menanyakan tentang papanya. Hatiku hancur dan remuk ketika kami berdua bersama anakmu main kepantai, mencari ikan apalagi pada sore hari karena semuanya terbayang kembali, diufuk barat seolah-olah ada kamu tersenyum dan melambaikan tangan memanggilku. Duh tuhan kuatkan hatiku bersama anaku ini, berilah jalan yang terang untuk kami tempuh, kamu tenanglah disisi tuhan aku bersama anakmu selalu mengenangmu. Diceritakan ibu Rohana di Pantai K. (Abdul Muis)

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]