oleh

Mengabdi, Apakah Harus Kembali ke Dompu ?

 

Kapan Kembali ke Dompu?, inilah pertanyaan yang sering kali kita dengar yang ditujukan kepada figur yang tengah berada diluar daerah. Baik itu terhadap mereka yang sedang menuntut ilmu, lebih-lebih kepada mereka yang sudah bekerja dan mapan dinegeri orang.

OLEH ANDI FARDIAN
Bisa jadi tulisan ini adalah hanya merepresentasikan subjetivitas penulis pribadi yang kebetulan sedang ‘hijrah’ untuk mencari ilmu di luar daerah atau di luar kampung halaman—Dompu.

Dompu adalah sebuah kabupaten yang secara geografis berada di Pulau Sumbawa. Sebenarnya kalau mau jujur, hijrahnya penulis keluar dari Dompu adalah 80 persen karena untuk menyelamatkan periuk atau bahasa umumnya untuk tetap menjaga agar dapur republik kecil penulis tetap mengepul.

Karena sebenarnya untuk urusan duniawi manusia itu semuanya hanya berusaha bagaimana perut bisa tetap terisi. Sesederhana itu kok sebenarnya. Untuk persoalan ilmu dan mencari ilmu sebenarnya bermuara dari semua urusan bagaimana bertahan hidup.

Memang ada ungkapan yang mengatakan bahwa makan untuk hidup dan hidup bukan untuk makan. Walaupun demikian bunyinya, manusia tetap saja tidak bisa menghindari bahwa sebenarnya sebagian waktu dalam hidup digunakan untuk urusan perut dan sekitarnya.

Sungguhpun demikian, karena manusia adalah makhluk yang bertuhan, alangkah eloknya, dalam upaya untuk terus mengusahakan perut tetap terisi itu—juga dapur tetap mengepul—semuanya diniatkan untuk ibadah kepada-Nya. Semoga mendapat keberkahan. Apa yang ditulis pada paragraf pertama ini hanyalah prolog.

Tulisan ini bertujuan untuk mengupas kegusaran atau kegelisahan saya, meskipun tidak ada hal yang substansial atau memaksa saya untuk gusar ataupun gelisah. Wong bicara perihal pengabdian ke daerah saja kok gusar dan gelisah. Seharusnya kan begitu? Tapi begitulan manusia.

Bila saja ada sesuatu yang menyentil pikiran, apalagi hati nurani dipastikan direspon secara emosional. Pertanyaan yang terkait dengan pengabdian itu adalah seringnya ditanya tentang kapan balik ke Dompu atau kembali ke daerah untuk mengabdi.

Saya yakin pertanyaan ini sudah lebih jauh atau lebih dahulu didengar oleh mereka, siapapun yang menuntut ilmu yang di luar daerah. Itu adalah perihal klasik yang sering ditujukan kepada mereka yang berada di luar daerah yang tanpa hitam di atas putih diwajibkan untuk tetap balik ke kampung halaman setelah kenyang dengan ilmu yang didapatkan dari daerah lain.

Tetapi untuk saya pribadi, kalau ditanya demikian, saya justru merenung dan berkaca, saya ini belum memiliki cukup bahkan bisa jadi masih jauh dari cukup memiliki ilmu untuk diabdikan atau dikontribusikan kepada daerah tercinta.

Bagaimanapun manusia itu harus bisa mengukur kemampuan dirinya sendiri. Iya, itu sangat perlu. Untuk tetap menjaga kewarasan dan tetap tahu diri. Tetapi juga di sisi lain, meskipun merasa masih belum cukup sekali lagi bisa jadi masih jauh dari kata cukup memiliki ilmu untuk dikontribusikan di daerah, saya bisa jadi teman-teman yang lain yang sepaham dengan saya—tetap berusaha dari luar daerah melakukan sesuatu yang (sedikit/mungkin) bermanfaat bahkan berdampak secara tidak langsung terhadap daerah Dompu yang kami cintai.

Sebenarnya bicara tentang pengabdian atau mengabdi kepada daerah kampung halaman tempat kelahiran adalah sebenarnya pembicaraan tentang bagaimana kita dapat mengontribusikan apa yang kita miliki atau apa yang telah kita dapatkan (ilmu, tenaga, pikiran dan lain-lain) kepada tanah kelahiran demi perkembangan dan pembangunannya.

Cuma bagi saya, selama ini, sebagian masyarakat menganggap bahwa untuk dapat berkontribusi itu harus ada di daerah itu. Paradigma yang demikian sudah terlanjur dipercaya atau  tertanam dalam pikiran sebagian masyarakat. Dengan demikian, mereka yang tidak tampak di daerah (di luar daerah dan tidak pulang, red) tidak dapat disebut sebagai mereka yang berkontribusi bagi daerah.

Cara pandang yang demikian tidak serta-merta dapat dibantah ataupun disalahkan karena pada dasarnya manusia itu butuh yang tampak atau bisa jadi membutuhkan sesuatu yang bernuansa (sedikit) riya’ atau dalam hal ini kontribusinya harus ditampakan.

Lantas kemudian yang berkontribusi tapi dalam kesenyapan tidak disebut berkontribusi? Sekiranya mari kita bijak menjawbanya.

Ada beberapa hal yang mendasari teman-teman yang sering kali bertanya kepada siapapun yang sedang berada di luar Dompu perihal kembali untuk mengabdi untuk daerah tercinta tersebut. Dari beberapa hal tersebut, saya dapat menangkap niat baik mereka atas dasar idealism yang mereka miliki untuk membangun daerah.

Alasan yang sering mereka utarakan sebenarnya sudah menjadi alasan klasik dan klasik belum tentu usang adalah. Siapapun putra daerah yang sudah menuntut ilmu kemudian sudah waktunya mendapat predikat sebagai figur yang berilmu dan sukses di luar daerah harus balik ke Dompu karena siapa lagi yang akan membangun Dompu kecuali para putra daerah tersebut.

Hujan emas di negeri orang tidak lebih baik dari hujan batu di negeri sendiri. Sepertinya pepatah ini sudah menjadi doktrin yang ampuh untuk mempengaruhi mereka yang sedang di luar daerah agar pulang ‘kandang’—kemudian diwajibkan memperbaiki dan membenahi kandang tersebut.

Memperbaiki dan meningkatkan sumber daya manusia. Meskipun konteks memperbaiki dan meningkatkan sumber daya manusia adalah juga bagian dari pembangunan, tetapi tetap saja alasan ini yang kemudian saya sebut sebagai isu menjadi tiga teratas untuk menarik perhatian dan simpati putra-putri Dompu untuk balik ke daerah.

Seberapa memprihatinkankah kualitas sumber daya manusia di Dompu sehingga harus perlu diperbaiki? (Maaf) Dalam konteks ini, saya mengajak pembaca untuk melihat suatu isu secara komprehensif sehingga kesimpulan yang ditarik adalah tetap dalam koridor kebijaksanaan.

Sebenarnya ada beberapa alasan yang lainnya, namun bagi saya sudah dapat diwakilkan oleh tiga hal tersebut.

Adalah sebuah kemuliaan jika masih ada putra-putri daerah yang masih meluangkan waktu, pikiran, bahkan tenaganya untuk daerahnya. Termasuk berusaha untuk meyakinkan sesamanya katakanlah dalam konteks ini adalah mahasiswa.

Bagaimanapun, putra daerah yang berstatus sebagai mahasiswa diharapkan atau diminta agar segera pulang ke daerah begitu setelah lulus karena dianggap telah memiliki ilmu yang cukup di bidangnya masing-masing untuk di kontribusikan.

Tidak ada yang salah dengan ketiga alasan di atas. Cuman bagi saya dan ini sekaligus ajakan, mari kita melihat dan menganalisa kata ‘pengabdian’ atau kata ‘kontribusi’ kepada daerah dari segala sudut pandang dan secara komprehensif.

Sungguhpun kata ‘pengabdian’ dan ‘kontribusi’ itu sendiri adalah abstrak, namun wujudnya tetaplah konkrit dan tampak.  Untuk memaknai pengabdian dan memberikan kontribusi kepada daerah, diperlukan pikiran yang jernih dan terlebih lagi harus realistis.

Ya, realistis, mengapa saya katakan demikian?. Seharusnya mereka yang berpikir bahwa satu-satunya cara untuk mengabdi kepada daerah dan tanah kelahiran adalah dengan balik ke tanah kelahiran selain mempertimbangkan kontribusi dan dampak positif yang akan diberikan oleh para putra daerah—juga harus mempertimbangkan faktor-faktor lain bahkan dampak negatifnya.

Apapun itu, terhadap sesuatu yang dilakukan, harus mempertimbangkan dan menganalisa kemungkinan terburuk yang terjadi. Hal itu berupa faktor sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik.  Selain itu, terhadap semua faktor tersebut, juga harus mempertimbangkan risiko dan konsekwensi baik itu yang harus dihadapi dan ditanggung oleh para putra daerah yang bersangkutan, masyarakat, bahkan yang spesifik lagi adalah pemerintah daerahnya sendiri.

Bagaimanapun pemerintah yang dalam hal ini adalah pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menyiapkan lapangan kerja yang memadai bagi masyarakatnya. Saya kira balik ke daerah untuk mengabdi dapat diibaratkan pisau dengan dua sisi.

Di satu sisi, dengan banyaknya putra daerah yang pulang dengan bekal berbagai disiplin ilmu yang sekiranya dapat bemanfaat bagi pembangunan daerah, namun di sisi lain juga menimbulkan beban baru bagi masyarakat dan terlebih pemerintah. Salah-satunya adalah harus menyiapkan lapangan kerja.

Saya ambil contoh konkrit untuk menggambarkan permasalahan di atas. Setiap tahun, para putra daerah Dompu yang diwisuda dan berpredikat sarjana tidak sedikit jumlahnya. Para sarjana tersebut tidak hanya kuliah di beberapa universitas swasta yang ada di Dompu, tapi juga di universitas (PTN maupun PTS) yang tersebar di berbagai pulau seperti Pulau Lombok, Pulau Sulawesi, dan Pulau Jawa. Apabila mereka ‘dituntut’ atau karena kemauannya sendiri untuk balik ke Dompu untuk mengabdi, maka bisa dibayangkan berapa banyak lulusan tersebut yang menganggur.

Bagaimanapun kita harus berpikir realistis dengan keadaan ini. Saya yakin jumlah lapangan kerja defisit atau lebih sedikit daripada jumlah  sarjana dan akan terus bertambah setiap tahunnya. Apalagi tidak sedikit kampus yang mengadakan acara wisuda lebih dari satu periode. Hal ini berakibat pada situasi perekenomian, yang mana apabila terdapat banyak pengangguran akan berdampak buruk bagi pembangunan.

Selain itu, permasalahan semakin rumit, jika dihubungkan dengan kultur masyarakat kita di Dompu. Kultur atau cara berpikir yang saya maksud adalah sebagian besar orang tua dan masyarakat yang ada di Dompu, baru mengganggap anak atau keluarganya sudah sukses apabila sudah berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Pola pikir yang demikian juga tidak dapat dipersalahkan. Setiap masyarakat—bahkan suku-suku tertentu—memiliki pola pikir yang berbeda-beda untuk dijadikan sebagai tolok ukur kesuksesan.

Nah, pada konteks ini lagi-lagi kita harus berpikir realistis. Sejak adanya kebijakan moratorium penerimaan PNS oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI tahun 2014 sampai sekarang belum ada kabar tentang pembukaan test penerimaan CPNS baik untuk jalur umum maupun jalur khusus.

Oleh karena demikian, sangat sulit bagi sarjana—apalagi yang fresh graduate untuk mencari pekerjaan (ma’af) apalagi di Dompu. Beban bagi mereka justru bertambah. Selain beban sosial budaya karena tuntutan orang tua harus PNS, beban mencari kerja, dan juga beban jodoh. Untuk beban yang terakhir saya sebut, ada sebagian orang tua yang menetapkan kriteria tambahan harus PNS untuk calon menantu. Dengan keadaan dan kondisi yang sulit untuk mencari pekerjaan, sepertinya terdapat hambatan untuk segera melepas masa lajang.

Lagi-lagi masalah muncul. Berhubung ‘ladang’ nafkah utama (test CPNS: red) belum ada kabarnya, maka (terpaksa) para sarjana tersebut melamar pekerjaan sebagai status honorer atau ngejob.

Seperti yang sudah diketahui, gaji untuk pegawai dengan status honorer tidak cukup bahkan sangat tidak cukup untuk menyambung kehidupan. Seperti yang saya sampaikan pada prolog, bagaimanapun manusia tidak jauh-jauh dari urusan perut.

Oleh karena demikian, seharusnya para sarjana tersebut harus berinovasi dengan skill dan ilmu yang dimilikinya untuk menciptakan ‘ladang’ nafkah alternatif atau dengan kata lain menciptakan lapangan kerja sendiri.

pertanyaanya adalah seberapa banyak dari mereka yang mampu menciptakan lapangan kerja? Seberapa besar perbandingan jumlah mereka yang berinovasi menciptakan lapangan kerja dengan yang mencari kerja? Apakah mereka mau mengasah skillnya? Sederet pertanyaan itu harus dijawab dengan realistis dan jujur.

Itu artinya apa? Semua itu bahwa memaknai pengabdian tidak cukup dengan mengatasnamakan idealisme. Hidup ini harus realistis. Dalam konteks untuk dapat memberikan kontribusi dan mengabdi kepada daerah Dompu adalah dengan cara harus balik ke Dompu, untuk saat ini bagi saya tidak relevan lagi.

Pengabdian kepada daerah asal dapat dilakukan dari dalam dan juga dari luar daerah (Dompu). Sekarang ini—apalagi dunia dimana tekhnologi dan informasi berkembang dengan pesat—pengabdian dan kontribusi bisa dilakukan di mana saja asalkan kita memiliki niat yang tulus.

Jikalau dengan kembalinya kita ke Dompu dapat menambah masalah baru bagi kita dan atau masyarakat, dan daerah itu sendiri, alangkah lebih bijak dan realistisnya kita untuk tetap berada di luar daerah dan tetap berkontribusi bagi Dompu dengan cara apapun.

Salah satu terobosan yang baik adalah bahwa dengan kita yang putra daerah Dompu terus meningkatkan kualitas diri kemudian kita mendapatkan pekerjaan yang layak di luar Dompu sehingga mampu mensejahterahkan diri dan keluarga kita berarti setidaknya kita telah mampu mengurangi beban Pemerintah Daerah Kabupaten Dompu terhadap beban dan tanggungan akan jumlah angka pengangguran di Dompu.

Saya yakin, tulisan ini adalah juga bagian dari kontribusi saya terhadap pembangunan di Dompu setidaknya bagi saya. Oleh karena demikian, mengabdi kepada daerah tercinta itu bukan pada persoalan balik atau tidak baliknya kita, tapi lebih kepada persoalan apa yang bisa kita berikan dan kontribusikan ke daerah kita baik itu dari luar daerah maupun dari dalam daerah dengan cara apapun dengan kemampuan maksimal kita. Semoga Dompu terus maju. Selamat membaca.

PENULIS ADALAH WARGA RANGGO YANG MENETAP DI JOGYAKARTA.

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]