oleh

Tak Semua Guru Mengenali Potensi Murid.

Oleh : Andi Fardian

Tulisan ini tidak berniat untuk mempertanyakan kinerja guru yang notabene sebagai pahlawan tanda jasa itu. Guru telah terlanjur menjadi simbol dan lentera yang menentukan seperti apa cerahnya generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Di tangan gurulah, masa depan generasi yang berpredikat sebagai penerus cita-cita luhur bangsanya ditentukan.

Salah-satu negara yang benar-benar menjadikan guru sebagai figur penentu adalah Jepang. Pasca kekalahan telaknya pada Perang Dunia Ke-II yang ditandai dengan kehancuran Kota Hiroshima dan Nagasaki karena bom atomnya Amerika Serikat dan Sekutunya pada tahun 1945, Jepang mengharuskan bangsanya untuk segera bangkit dari keterpurukan.

Pertanyaan utama bisa jadi pertama yang diajukannya adalah berapa jumlah guru yang masih tersisa? Mengapa harus guru? Karena mereka paham seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa guru adalah figur penentu masa depan bagi generasi yang berkewajiban untuk melanjutkan perjuangan bangsanya.

Bagaimana jadinya jika figur guru tidak ada di belahan Bumi ini? Mungkin sejarah dan peradaban setiap bangsa dan dunia akan beda ceritanya.

Kendatipun guru tidak bisa dibantah adalah figur yang sangat berjasa, namun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa memang ada persoalan terkait guru sebagai pelaku utama dalam keberlangsungan aktivitas akademis dalam dunia pendidikan.

Pertanyaan yang relevan yang dapat diajukan dalam tulisan ini adalah apakah semua guru dapat mengenali potensi muridnya? Pertanyaan tersebut penting dikemukakan mengingat keberadaan murid dalam kelas adalah keadaan heterogen dengan kemampuan dan potensinya yang berbeda-beda.

Praktis, pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan kenyataan bahwa saya meyakini tidak semua guru dapat mengenali murid berikut dengan potensi bawaannya lagi terpendam. Dari jawaban pertanyaan yang dikemukakan tersebut, mungkin ada pembaca yang skeptis merespon dengan sinis dan menganggap saya seolah-olah bersikap mengecilkan peran guru.

Bukan itu maksud saya, justru melalui tulisan ini, saya ingin mengapresiasi para guru yang telah bersusah payah menjalankan tugasnya meskipun tanpa penelitian tapi dengan asumsi ada guru yang masuk kelas hanya untuk menggugurkan kewajiban. Orang tua saya adalah juga guru.

Seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, bahwa guru tidak hanya memerankan dirinya sebagai pengajar, tapi juga sebagai pendidik dan pembimbing. Praktis, dengan adanya amanat undang-undang tersebut, guru harus semaksimal mungkin memerankan dirinya sebagai figur dengan triperan tersebut.

Mengapa guru harus mengenali potensi muridnya? Karena setiap murid memiliki potensi yang berbeda-beda. Oleh karena demikian, baik metode maupun pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran juga harus dapat disesuaikan dengan potensi-potensi tersebut.

Metode yang diterapkan kepada murid yang satu belum tentu cocok untuk diterapkan pada murid yang lain. Kondisi idealnya demikian yang diharapkan. Dus, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah guru mampu melakukannya dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam waktu maksimal yang relatif tidak cukup 2×45 menit? Nah, itu harus dicermati dengan jeli dan jujur.

Problem guru tidak mengenali potensi murid bagi saya sebenarnya adalah persoalan klasik karena mau tidak mau, harus diakui bahwa ini adalah salah-satu penyebab ketidakberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Masalah-masalah lain yang disebabkan karena guru tidak mengenali potensi muridnya adalah potensi murid tidak dapat berkembang; terciptanya ketimpangan atau sekat antarmurid yang dipisahkan oleh status ‘murid pintar dan murid bodoh’; proses pembelajaran tidak dinamis; dan murid tidak termotivasi dan  tidak memiliki semangat untuk menghadapi proses pembelajaran; dan masalah-masalah lainnya.

Terkait dengan persoalan ini, saya sendiri memiliki pengalaman yang berharga saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Karena memang saya masuk SD pada usia yang belum genap 5 tahun, saya cenderung menjadi murid yang pasif.

Ke-pasif-an tersebut disebabkan olehselain karena saya masih balita juga disebabkan karena sebenarnya saya belum mau sekolah. Tapi kerena kakek dan nenek sedikit memaksa, akhirnya saya dengan sangat tidak senang akhirnya mau didaftarkan di kelas 1 SD tanpa terlebih dahulu mengenyam Kelompok Bermain (KB) atau Taman Kanak-Kanak (TK).

Hampir semua teman sekelas saya adalah mereka yang sudah ‘cukup umur’ untuk duduk di kelas 1 SD dibandingkan saya yang masih balita. Karena ke-pasif-an,  saya sering kali di-bully oleh teman sekelas yang notebene lebih tua dari saya. Tidak jarang juga, saya dipukul atau dikeroyok. Akibatnya, prestasi belajar saya selama 3 caturwulan di kelas 1 selalu saja tidak memuaskan dan bahkan sangat tidak memuaskan.

Mungkin karena masih duduk di kelas 1 dan terlepas dari usia yang belum cukup. Pendek kata, sampai kelas 3 atau 4, saya masih di-bully atau diperlakukan secara kasar oleh teman sekelas. Dengan demikian, prestasi belajar saya tetap saja tidak memuaskan. Disamping itu, sekolah menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan bagi saya sehingga saya tidak menyenangi hampir semua mata pelajaran.

Keberuntungan mulai mendekat pada saya ketika naik ke kelas 5. Adalah seorang guru yang bersahaja dan penuh kesabaran yang membantu saya berkembang dan memotivasi saya untuk maju dan bangkit dari keterpurukan prestasi belajar.

Ia semoga tetap diberikan oleh Allah usia yang panjang adalah Pak Haerun (sekarang Kepala SDN. 1 Pajo, Dompu, NTB). (Mohon maaf) Saya harus katakan bahwa beliaulah guru yang sampai sekarang menjadi guru terbaik yang pernah saya temui.

Sekilas saya gambarkan, ia sosok yang tidak hanya menjadi pengajar tapi mampu memerankan diri sebagai pembimbing dan pendamping bagi saya dan murid-muridnya yang lain. Jika saya tidak diajarkan olehnya sekaligus  menjadi wali kelas 5 kemudian menjadi wali kelas 6 saya tidak tahu akan menjadi seperti apa saya saat ini.

Dengan motivasi dan pendekatan pribadi yang sangat baik yang ia lakukan kepada saya,  sejak kelas 5 semester 1, saya mendapatkan ranking 1 dan otomatis menjadi perwakilan SD saya di berbagai ajang perlombaan sampai tingkat kabupaten. Pak Haerun dengan tepat dapat mengetahui ke mana arah potensi yang saya miliki.

Sekarang baru saya menyadari ia mampu menerapkan pendekatan yang berbeda-beda kepada setiap muridnya tanpa menciptakan kecemburuan antar murid. Dan, lebih menyenangkan lagi adalah ia mampu menciptakan atmosfir kelas yang dinamis.

Apa maksud dari yang saya ceritakan di atas? Saya tidak fokus pada berapa kali saya mendapatkan ranking 1 atau seberapa sering saya mendapatkan nilai 100 dalam pelajaran Matematika sejak Pak Haerun menjadi wali kelas saya misalnya.  Bukan itu maksud saya. Dalam konteks belajar, guru secara pragmatis tidak dapat menilai murid yang misalnya mendapatkan ranking adalah yang pintar sedangkan sebaliknya, murid yang tidak mendapat ranking adalah murid yang tidak pintar atau bahasa terangnya masuk dalam kategori murid yang bodoh.

Paradigma yang seperti ini harus sebisa mungkin dapat dihindari oleh guru yang profesional apalagi tersertifikasi. Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa para murid itu memiliki kemampuan dan bakat yang berbeda. Cara yang bijak yang harus ditempuh oleh guru adalah mengenali setiap murid dengan segala anugerah dan kemampuannya yang berbeda-beda tersebut kemudian ditentukan langkah yang tepat untuk mengembangkannya.

Dalam konteks ini, bahwa kesuksesan belajar dimanapun itu tidak bisa dinilai atau diukur pada sebatas tinggi rendahnya nilai yang didapatkan oleh murid yang bersangkutan. Meskipun di sisi lain, nilai atau skor ataupun indeks prestasi adalah juga penting dalam proses pembelajaran.

Pelajaran penting yang dapat saya tarik dari pengalaman saya di atas adalah peran seorang guru untuk mengenali potensi muridnya kemudian memotivasi dan melakukan pendekatan personal yang humble  adalah sesuatu yang sangat diperlukan dewasa ini dan pada masa yang akan datang atau bahkan lebih jauh lagi di masa yang akan datang. Saya kira tanpa itu, aktivitas pembelajaran tidak lebih dari sebuah ajang pengguguran kewajiban guru yang hanya memerankan dirinya sebagai pengajar.

Solusi yang dapat ditawarkan pada tulisan ini terkait persoalan tidak semua guru dapat mengenali potensi muridnya adalah sebagai berikut:

Guru harus memerankan dirinya sebagai pengajar, pendamping, dan pembimbing.  Sebagai pengajar, guru diikat oleh kewajiban untuk melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan RPP beserta kelengkapan mengajar lainnya dalam rentang waktu tertentu katakanlah 2×45 menit.

Peran guru sebagai pendamping saya kira adalah tugas sampingan tapi tetap diperankan secara bersamaan dengan peran sebagai pengajar.  Peran guru sebagai pendamping bermakna mendampingi murid untuk melakukan pendekatan secara personal untuk mengenali pribadi muridnya.

Selain itu, dengan perannya sebagai pendamping, sangat memungkinkan bagi guru menjadi konselor bagi murid-muridnya untuk secara terbuka menceritakan masalah-masalah mereka. Sebaliknya guru karena menjadi konselor dapat memberikan jalan keluar bagi permasalahan-permasalahan yang dihadapi muridnya.

Dengan demikian, guru dapat memahami keadaan psikologis muridnya. Selain itu, dengan memerankan dirinya sebagai pendamping, guru dapat dengan mudah mengetahui minat dan ke arah mana potensi muridnya dikembangkan.  Sedangkan, dengan perannya sebagai pembimbing, guru dapat memberikan bimbingan kepada terhadap segala kesulitan belajar yang dihadapi muridnya.

Murid tidak merasa ditinggalkan dengan kesulitannya. Baik perannya sebagai pendamping maupun pembimbing, guru dapat menciptakan kedekatan baik secara fisik maupun psikis dengan muridnya. Sehingga hal ini mendukung peran guru sebagai pengajar. Yang pada akhirnya, jika peran itu dapat dilakoni secara bersamaan, maka bukan tidak mungkin murid termotivasi atau terdorong untuk terus belajar dan mengembangkan potensi dan minatnya.
Metode pembelajaran yang tidak monoton. Salah-satu penyebab munculnya banyak penelitian tindakan kelas (PTK) adalah karena prestasi belajar murid tidak meningkat atau bahkan sebagian besar murid dalam mata pelajaran tertentu tidak mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditentukan oleh sekolah.

Mengapa itu bisa terjadi? Salah-satunya adalah karena metode pembelajaran yang monoton sehingga tidak menarik bagi murid. Oleh karena demikian, guru diharapkan menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi. Bagaimanapun, proses pembelajaran harus diciptakan semenarik mungkin untuk dapat menarik perhatian murid.

Disamping itu, penggunaan metode pembelajaran yang bervariasi, secara tidak langsung digunakan untuk mengenali potensi murid melalui proses pembelajaran. Otomatis, murid akan (pasti) tertarik dengan sesuatu yang baru. Secara diam-diam, guru dapat melihat satu-persatu seperti apa responnya.  Penggunaan metode pembelajaran yang bervariasi juga setidaknya dapat menjawab kerisauan guru yang memiliki idealisme untuk menciptakan pembelajaran yang menarik tapi dibatasi oleh waktu.
Penilaian harus mencakup kognitif, afektif, dan psikomotor. Sering kali dan bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa aspek kognitif menjadi aspek yang berkontribusi paling utama dalam menentukan murid tuntas atau tidaknya dalam pembelajaran. Sedangkan aspek afektif dan psikomotor hanya menjadi nomor dua dan ke belakang.

Oleh karena demikian, untuk dapat mengenali potensi murid, guru sudah seharusnya mempertimbangkan ketiga aspek tersebut secara merata untuk menentukan murid tuntas atau tidak. Seperti yang saya katakan di atas, bahwa setiap murid memiliki potensi dan minat yang berbeda-beda dan nilai/skor kognitif bukan menjadi tolok ukur utama bagi suatu keberhasilan pembelajaran.

Di atas semua itu, harapannya adalah guru terus mengasah kemampuan dan perannya sebagai pengajar, pendamping dan pembimbing sehingga dapat mengenali pribadi dan potensi muridnya. Dengan demikian, tujuan pembelajaran dapat diwujudkan. Selama membaca!

 

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]