oleh

Dibalik Tuntutan Bubarkan Densus 88

DOMPU–Satuan anti teror Mabes Polri Detasemen Khusus (Densus) 88 kini sedang dirundung masalah, aksi pasukan yang berlambang burung hantu itu dikecam oleh berbagai kalangan terutama dari aktifis islam dan ormas islam Indonesia. Mereka menginginkan agar densus 88 dibubarkan atau setidaknya dievaluasi secara total kinerjanya, terlebih lembaga Komnas HAM telah mengumumkan banyak pelanggaran-pelanggaran selama operasi densus berlangsung.

Pengamat terorisme Indonesia Al-Chaidar mengakui kalau dibanding dengan pelanggaran HAM oleh negara lain dalam penindakan terorisme di negaranya, Indonesia terbilang tidak seberapa dan bahkan jauh lebih kejam. Namun demikian Al-Chaidar dalam perbincangan di station Metro TV (5/3/2013) bersama Kepala Biro Penerangan masyarakat Brigjen Boy Rafli Amar dan anggota Komnas HAM Nurlaela setuju kalau Densus dibubarkan saja.

Alasan yang dikemukakan Al-Chaidar karena stigma Densus sudah sangat buruk dimata masyarakat yang ditandai dengan perlawanan-perlawanan yang ditunjukan masyarakat. Malah dia mengusulkan agar pemberantasan terorisme diserahkan pada satuan Brimob yang personilnya ada sampai dipelosok desa.

Sementara Brigjen Boy Rafli Amar dalam pembelaanya mengemukakan bahwa pasukan anti teror itu masih dibutuhkan, mengingat dalam pasukan itu komplit, mulai dari tim pendeteksi, tim penindak sekaligus tim penuntut. ‘’Brimob hanya memiliki tim penindakan,’’ ujarnya.

Terkait dengan dugaan pelanggaran HAM oleh densus 88 Boy meminta agar tidak melihatnya secara sepotong-sepotong, sebab berhadapan dengan pelaku terorisme berbeda dengan pelaku kriminal lainya, sebab ancaman selalu ada baik personil densus lebih-lebih masyarakat sekitar. ‘’Pelaku teroris sangat berbahaya dan mengancam jiwa,’’ tandas Boy.

Bayangkan kata Boy Rafli seorang pelaku teroris tidak segan-segan membunuh siapapun termasuk membunuh dirinya sendiri dengan bom bunuh diri. Karena itu kalau ada situasi dilapangan sampai terjadi dugaan pelanggaran HAM itu lebih disebabkan karena kondisional. ‘’Tetapi kami setuju kalau kinerja densus dievaluasi,’’ ujarnya. Sementara anggota Komnas HAM Siti Nurlaela dalam kesempatan yang sama mengakui dari hasil investigasi yang dilakukan terindikasi telah terjadi dugaan pelanggaran HAM, seperti penyiksaan dan pembunuhan terduga teroris tanpa melalui persedur yang benar.

Dalam investigasi yang dilakukan diakuinya Komnas tidak hanya mewancarai keluarga terduga teroris tetapi juga melakukan wawancara dengan pihak lain yang mengetahui tentang hal itu. ‘’Hasil investigasi Komnas HAM disejumlah kasus terjadi pelanggaran HAM,’’ tegasnya. Namun demikian Komnas HAM hanya sebatas memberikan rekomendasi agar dibenahi, sedangkan tuntutan pembubaran densus menurut Nurlaela tidak termasuk ranah Komnas HAM. ‘’Komnas tidak berwenang menuntut densus 88 dibubarkan,’’ ujarnya.

Kasus Poso dengan beredarnya vidoe penyiksaan oleh aparat polisi merupakan bukti adanya pelanggaran HAM. Begitu juga dengan kasus terakhir dengan tewasnya lima terduga teroris di Kabupaten Dompu NTB pada awal januari 2013 lalu yang tewas diberondong peluru aparat tanpa memberikan kesempatan untuk hidup. ‘’Sehingga klarifikasi terhadap dugaan keterlibat mereka tidak bisa dilakukan karena semuanya tewas,’’ paparnya.

Dalam kasus yang terjadi di Dompu kata dia terdapat satu jenazah yang hampir dua bulan tidak dapat diidentifikasi oleh Polri dan menjadi Mr X di Rumah Sakit Kramat Jati Polri. Bagi Polisi menurut Boy Rafli Amar tersimpanya jenazah terduga teroris asal Dompu Sirajuddin alias Eja lebih disebabkan karena tidak ada keluarganya yang mengaku dan polisi telah berusaha mencari keluarganya.

Tetapi sangat berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi di Kabupaten Dompu sendiri yang mana keluarga Sirajuddin pasca penembakan ada aparat Polri setempat yang menginformasikan bahwa salah satu dari tiga jenazah yang tewas disebuah kebun belakang terminal Ginte yang digrebek densus 88 adalah Sirajuddin alias Eja.

Keluarga Eja bahkan berkali-kali mendatangi Polres dan DPRD mengadu terkait dengan jasad Sirajuddin yang dibawa densus 88 ke Jakarta, sampai akhirnya tak kuasa menunggu mendatangi sendiri ke Jakarta dan difasilitasi oleh ormas islam di Jakarta mendatangi komisi III DPR-RI dan mengadukan nasib Eja yang raib pasca penggerebekan dan menewaskan tiga terduga teroris dikebun kacang.

Orang tua Eja, Zikra yang sudah lelah mencari dan melihat langsung jenazah di Mabes Polri langsung pingsan setelah diperlihatkan karena betul itu adalah anaknya yang selama ini dia kenal anak yang baik dan suka bekerja keras mencari nafkah dan terakhir sebagai pelayan bakso.

Kita semua sepakat bahwa teroris memang pantas mati, tetapi dalam mematikan mereka yang diduga terlibat hendaknya dilalui prosedur yang benar dengan memberikan kesempatan untuk melalukan pembelaan, karena rata-rata baru sebatas diduga.

Kita tidak ingin ada pembunuhan yang dilegalkan oleh negara sekalipun karena negara ini hidup berdasarkan hukum. Lokasi penggerebekan terduga teroris kalau diklaim sebagai medan tempur maka sudah bisa dipastikan akan jatuh korban, bisa dari terduga teroris atau aparat negara yang bertugas.

Melabelkan seseorang sebagai teroris juga cukup berbahaya mengingat teroris dimaknai sebagai sebuah kejahatan yang memiliki kasta tertinggi dibidang kriminal. Padahal masyarakat sendiri akan langsung memberikan penilaian terhadap seseorang yang dilabelkan teroris yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari baik terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan.

Bahtiar, Anas dan Sirajuddin warga Bima-Dompu NTB yang tewas tertembak densus 88 misalnya adalah tiga sosok pekerja keras menjual kue dan pelayan bakso. Ketiganya sangat taat beribadah sesuai agama yang dianutnya Islam. Masyarakat tentu saja sudah memiliki kesimpulan atas yang apa terjadi didaerahnya, siapapun boleh memberikan pembenaran-pembanaran tetapi yakin saja masyarakat sudah memiliki jawaban sendiri walaupun dalam bahasa yang membisu karena tidak berani berkata.

Teroris adalah label yang paling tinggi dibidang kejahatan, maka siapapun harus dihukum seberat-beratnya, tentu saja setelah dibuktikan, kita tidak ingin terjadi pembunuhan diluar proses peradilan.

Komentar

Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Bijaklah dalam pemilihan kata yang tidak mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA. Salam hangat. [Redaksi]